Guru atau Google: Siapa yang Lebih Dipercaya Anak Zaman Sekarang?

Hubungan antara siswa dan guru telah lama menjadi fondasi utama dalam dunia pendidikan. Guru dianggap sebagai sumber ilmu, pembimbing, dan figur otoritatif di ruang kelas. Namun, di era digital yang dipenuhi dengan akses informasi instan, posisi ini mulai bergeser. slot qris resmi Anak-anak dan remaja kini hidup berdampingan dengan teknologi sejak dini, dan bagi banyak dari mereka, Google terasa lebih cepat, praktis, dan tak terbatas dibanding bertanya pada guru.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: siapa yang sebenarnya lebih dipercaya oleh anak-anak zaman sekarang—guru yang hadir secara fisik, atau Google yang ada di ujung jari?

Informasi Instan vs Interaksi Manusia

Salah satu alasan mengapa Google begitu dominan dalam kehidupan pelajar saat ini adalah kecepatannya. Saat siswa memiliki pertanyaan, mereka hanya perlu mengetik beberapa kata, dan dalam hitungan detik, ribuan jawaban muncul. Tak perlu menunggu giliran bertanya di kelas, atau merasa malu saat dianggap bertanya hal yang “sudah dijelaskan tadi”.

Sebaliknya, bertanya pada guru melibatkan interaksi sosial, bahasa tubuh, dan kadang emosi. Ini bisa jadi menguntungkan karena memberikan pemahaman yang lebih personal, tapi bagi sebagian siswa, ini bisa terasa menegangkan atau membatasi, terutama jika suasana kelas tidak mendukung.

Tingkat Kepercayaan: Fakta atau Kenyamanan?

Menariknya, kepercayaan siswa pada Google bukan semata-mata soal kebenaran informasi. Banyak yang sadar bahwa tidak semua jawaban di internet bisa dipastikan benar. Namun, kepercayaan itu lahir dari kenyamanan dan kontrol. Di Google, siswa bisa memilih sendiri sumber mana yang mereka percayai, membaca berulang kali tanpa dihakimi, dan mengakses topik apa pun, termasuk yang mungkin dianggap tabu di ruang kelas.

Sedangkan pada guru, kepercayaan sering kali dibangun melalui relasi. Jika siswa merasa dihargai, tidak dihakimi, dan mendapat perhatian individual, maka mereka cenderung lebih terbuka dan mempercayai penjelasan guru. Namun jika hubungan itu renggang atau terlalu satu arah, maka internet akan menjadi pelarian yang lebih menarik.

Posisi Guru yang Berubah

Perubahan ini tidak selalu berarti bahwa guru kehilangan peran. Justru, ini membuka peluang bagi guru untuk mereposisi diri dari sekadar penyampai informasi menjadi fasilitator, pembimbing, atau bahkan kurator sumber belajar. Guru yang mampu mengarahkan siswa untuk memilah informasi, mengkritisi sumber, dan menavigasi lautan data justru lebih relevan daripada sebelumnya.

Dalam hal ini, guru dan Google bukan harus saling menyaingi, melainkan bisa saling melengkapi. Google menyediakan informasi dalam jumlah besar, tetapi guru menyediakan konteks, makna, dan nilai dari informasi tersebut.

Kepercayaan Dibangun, Bukan Diberikan

Satu hal penting yang perlu disadari adalah bahwa kepercayaan bukan lagi sesuatu yang otomatis diberikan hanya karena posisi formal. Anak zaman sekarang lebih kritis, lebih otonom, dan lebih terbiasa membandingkan berbagai sumber. Oleh karena itu, guru perlu membangun kepercayaan secara aktif—melalui keterbukaan, kejujuran, kesabaran, dan kemampuan mengikuti perkembangan zaman.

Guru yang tidak alergi pada teknologi, yang tidak merasa tersaingi oleh Google, dan yang justru mengajarkan cara menggunakannya dengan bijak, akan lebih mudah mendapatkan kepercayaan siswa. Sebaliknya, guru yang menutup diri atau mempertahankan dominasi tunggal atas informasi, berisiko makin kehilangan relevansi.

Penutup: Dua Sumber, Dua Fungsi

Guru dan Google punya fungsi yang berbeda, meski keduanya sama-sama menjadi rujukan utama bagi siswa. Google unggul dalam kecepatan dan luasnya akses informasi, sementara guru tetap penting dalam memberikan konteks, nilai, dan kedalaman pemahaman. Dalam dunia yang terus bergerak cepat, kombinasi keduanya bisa menciptakan pengalaman belajar yang lebih kaya dan kritis bagi generasi muda.

No Comments